Rabu, 16 November 2011

peledakan

A.  BAHAN PELEDAK
            Bahan peledak yang dimaksudkan adalah bahan peledak kimia yang didefinisikan sebagai suatu bahan kimia senyawa tunggal atau campuran berbentuk padat, cair, atau campurannya yang apabila diberi aksi panas, benturan, gesekan atau ledakan awal akan mengalami suatu reaksi kimia eksotermis sangat cepat dan hasil reaksinya sebagian atau seluruhnya berbentuk gas disertai panas dan tekanan sangat tinggi yang secara kimia lebih stabil.

            Bahan peledak diklasifikasikan berdasarkan sumber energinya menjadi bahan peledak mekanik, kimia, dan nuklir (J. J. Manon, 1978). Karena pemakaian bahan peledak kimia lebih luas dibandingkan dengan sumber energi lainnya, maka pengklasifikasian bahan peledak kimia lebih intensif diperkenankan. Pertimbangan pemakaiannya antara lain, harga relatif murah, penanganan teknis lebih mudah, lebih banyak variasi waktu tunda (delay time) dan dibandingkan dengan  nuklir bahayanya lebih rendah.
     
      Klasifikasi bahan peledak menurut Mike Smith (1988) yaitu :
    1. Bahan peledak kuat contohnya TNT, Dinamite, Gelatine
    2. Agen Peledakan contohnya ANFO, Slurries, Emulsi, Hybrid ANFO, Slurry mixtures
    3. Bahan peledak khusus contohnya Seismik, Trimming, Permisible, shaped Charges, Binary, LOX, Liquid.
    4. Pengganti bahan peledak contohnya Compressed air/gas, Expansion agents, mechanical methods, waterjets, jet piercing
Sifat-sifat fisik bahan peledak adalah suatu kenampakan nyata dari sifat bahan peledak ketika menghadapi perubahan kondisi lingkungan sekitarnya, yaitu antara lain :
1.      Densitas yaitu angka yang menyatakan perbandingan berat per volume
2.      Sensitifitas adalah sifat yang menunjukan kemudahan inisiasi bahan peledak atau ukuran minimal booster yang diperlukan
3.      Ketahanan terhadap air (water resistence)
4.      Kestabilan kimia (chemical stability)
5.      Karekteristik gas ( fumes characteristic)

B.     PERLENGKAPAN PELEDAKAN
            Perlengkapan peledakan adalah bahan–bahan yang membantu peledakan yang habis dipakai yaitu :
1.      Detonator
2.      Sumbu peledakan
Detonator adalah alat pemicu awal yang menimbulkan inisiasi dalam bentuk letupan (ledakan kecil) sebagai bentuk aksi yang memberikan efek kejut terhadap bahan peledak peka detonator atau primer. Terdapat dua jenis muatan bahan peledak dalam detonator yang masing-masing fungsinya berbeda, yaitu:
1.   Isian utama (primary charge) berupa bahan peledak kuat yang peka (sensitive), fungsinya untuk menerima efek panas dengan sangat cepat dan meledak sehingga menimbulkan gelombang kejut.
2.   Isian dasar (base charge) disebut juga isian sekunder adalah bahan peledak kuat dengan VoD tinggi, fungsinya adalah menerima gelombang kejut dan meledak dengan kekuatan besarnya tergantung pada berat isian dasar tersebut.


Kekuatan ledak (strength) detonator ditentukan oleh jumlah isian dasarnya. Jenis-jenis detonator :
1.      Detonator biasa (plain detonator)
2.      Detonator listrik (electric detonator)
3.      Detonator nonel (nonel detonator)
4.      Detonator elektronik (electronic detonator)
            Yang dimaksud dengan sumbu peledakan disini adalah sumbu api dan sumbu ledak. Sumbu api adalah sumbu yang disambung ke detonator biasa pada peledakan dengan menggunakan detonator biasa. Dapat dikatakan bahwa sumbu api merupakan pasangan detonator biasa, karena detonator biasa tidak dapat digunakan tanpa sumbu. Fungsi sumbu api adalah untuk merambatkan
api dengan kecepatan tetap pada detonator biasa. Sedangkan sumbu ledak adalah sumbu yng pada bagian intinya terdapat bahan peledak PETN. Fungsi sumbu ledak adalah untuk merangkai suatu sistem peledakan tanpa menggunakan detonator didalam lubang ledak. Sumbu ledak mempunyai sifat tidak sensitive terhadap gesekan, benturan, arus liar, dan listrik statis.

C.    PERALATAN PELEDAKAN
            Peralatan peledakan adalah perangkat pembantu peledakan yang nantinya dapat dipakai berulang kali. Peralatan peledakan dapat dikelompokan menjadi :
1.                                    Peralatan yang langsung berhubungan dengan teknik peledakan
2.                                    Peralatan pendukung peledakan
Peralatan yang berhubungan langsung dengan peledakan adalah ;
·         . Alat Pemicu ledak
v  Pada peledakan listrik ( Blasting Machine)
v  Pada peledakan nonel (shot gun / short fire)
·               Alat Bantu ledak listrik
v  Blasting Ohmmeter (BOM)
v  Pengukur kebocoran arus listrik
v  Multimeter peledakan
v  Pengukur kekuatan blasting machine
v  Pelacak kilat (lightning detector)
·               Alat Bantu peledakan lain
v  Kabel listrik utama (lead wire) atau sumbu nonel utama (lead in line)
v  Cramper (penjepit sambungan sumbu api dengan detonator biasa )
v  Meteran (50 ml) dan tongkat bambu ( ± 7 m) diberi skala
·               Alat pencampur dan pengisi

Peralatan pendukung peledakan antara lain :
a.       Alat pendukung utama, berhubungan dengan aspek keselamatan dan keamanan kerja, serta lingkungan, misalnya alat mengangkut dan alat pengaman
b.      Alat pendukung tambahan terfokus pada penelitian peledakan yang tidak selalu dipakai pada peledakan rutin, misalnya alat pengukur kecepatan detonasi, pengukur getaran dan pengukur kebisingan.

A.    TEKNIK PELEDAKAN
            Terdapat perbedaan antara teknik peledakan pada sistem penambangan terbuka dengan sistem penambangan bawah tanah, perbedaan itu disebabkan oleh beberapa faktor seperti luas area, volume hasil ledakan, suplai udara segar, dan keselamatan kerja.

      A. Pola pengeboran
TABEL 1.
PENYEBAB YANG MEMBEDAKAN POLA PENGEBORAN DI TAMBANG TERBUKA DAN BAWAH TANAH

faktor
Tambang bawah tanah
Tambang terbuka
Luas area
Terbatas, sesuai dimensi bukaan luasnya dipengaruhi oleh kestabilan bukaan tersebut
Lebih luas karena terdapat di permukaan bumi dan dapat memilih area yang cocok
Volume hasil peledakan
Terbatas karena dibatasi luas permukaan bukaan, diameter mata bor dan kedalaman pengeboran
Lebih besar bisa mencapai ratusan ribu meter kubik per peledakan, sehingga dapat direncanakan target yang besar
Suplai udara segar
Tergantung pada system ventilasi yang baik
Tidak bermasalah karena dilakukan pada udara terbuka
Keselamatan kerja
Kritis, diakibatkan oleh ruang yang terbatas, guguran batu dari atap , tempat penyelamatan diri terbatas
Relative lebih aman karena seluruh pekerjaan dilakukan pada area terbuka




a. Pola pengeboran pada tambang terbuka
            Terdapat tiga pola pengeboran yang ada pada tambang terbuka, yaitu :
1.      Pola bujur sangkar (square pattern), yaitu jarak burden dan spasi sama
2.      Pola persegi panjang (rectangular system), yaitu jarak spasi dalam satu baris lebih besar dibanding burden
3.      Pola zig-zag (staggered pattern), yaitu antara lubang bor dibuat zigzag yang berasal dari pola bujur sangkar maupun persegi panjang
b. Pola pengeboran pada bukaan bawah tanah
         Pada pengeboran bukaan bawah tanah umumnya hanya terdapat satu bidang bebas, yaitu pemuka kerja atau face. Untuk itu, perlu dibuat tambahan bidang bebas yang disebut cut. Secara umum terdapat empat tipe cut yaitu :
1.      Center cut disebut juga pyramid atau diamond cut, empat atau enam lubang dengan diameter yang sama dibor kearah satu titik sehingga membentuk pyramid.
2.      Wedge cut atau V- cut, angled cut atau cut berbentuk baji, setiap pasang dari empat atau enam lubang dengan diameter yang sama dibor kearah satu titik, tetapi lubang bor antar pasangan sejajar, sehingga terbentuk baji. Cara ini lebih mudah dari pyramid cut tetapi kurang efektif untuk batuan yang keras.
3.      Drag cut atau pola kipas, bentuknya mirip dengan baji perbedaannya terletak pada posisi bajinya tidak ditengah-tengah bukaan, tetapi terletak pada bagian lantai atau dinding bukaan. Cara membuat dengan cara lubang bor dibuat miring untuk membentuk rongga di lantai atau di dinding. Cara ini efektif pada batuan berlapis dan tidak keras dan pula berperan sebagai controlled blasting.
4.      Burn cut disebut juga cylinder cut, pola ini sangat cocok untuk batu yang keras dan regas seperti batu pasir (sandstone) atau batuan beku dan tidak cocok untuk struktur berlapis.
Secara umum pola peledakan menunjukan urutan atau sekuensial ledakan dari sejumlah lubang ledak  Adanya urutan peledakan berarti terdapat jeda waktu ledakan yang disebut dengan waktu tunda (delay time). Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan waktu tunda pada sistem peledakan yaitu :
1.      Mengurangi getaran
2.      Mengurangi overbreak dan batu terbang (fly rock)
3.      Mengurangi gegeran akibat airblast dan suara (noise)
4.      Dapat mengarahkan lemparan fragmentasi batuan
5.      Dapat memperbaiki ukuran fragmentasi batuan hasil ledakan

B. DESAIN PELEDAKAN
            Kondisi-kondisi tertentu pada operasi akan mempengaruhi secara detail daripada desain peledakan. Faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam mendesain suatu peledakan antara lain :
1. Diameter lubang ledak
2. Tinggi jenjang
3. Fragmentasi
4. Burden dan spacing
5. Struktur batuan
6. Kestabilan jenjang
7. Dampak terhadap lingkungan
8. Tipe bahan peledak yang akan digunakan
    



1.   Diameter lubang bor
            Pemilihan diameter lubang ledak dipengaruhi oleh besarnya laju produksi yang       direncanakan. Makin besar diameter lubang maka akan diperoleh laju produksi yang         besar pula, dengan persyaratan alat bor dan kondisi batuan sama. Faktor yang membatasi diameter lubang ledak adalah :
·         Ukuran fragmentai hasil ledakan
·         Isian bahan peledak utama harus dikurangi atau lebih kecil dari perhitungan teknis karena pertimbangan vibrasi bumi atau ekonomi
·         Keperluan penggalian batuan secara selektif
Pada kondisi batuan yang solid, ukuran fragmentasi batuan cenderung meningkat apabila perbandingan kedalaman lubang ledak dan diameter kurang dari 60 inci. Oleh karena itu upayakan hasil perbandingan tersebut melebihi 60 atau L/d ≥ 60 inci atau  d = 5 – 10 K
Dimana :    d  = Diameter lubang bor (mm)
                  K = tinggi jenjang (m)
Dengan diameter lubang bor yang kecil, konsekuensinya burden juga kecil, akan memberikan hasil fregmentasi yang bagus dengan getaran (groun vibration) rendah. Hal ini perlu diperhatikan, terlebih lagi apabila ledakan dilakukan dekat dengan perumahan penduduk

2. Ketinggian jenjang dan kedalaman lubang bor
         Tinggi jenjang berhubungan erat dengan parameter geometri peledakan lainnya dan ditentukan terlebih dahulu atau terkadang ditentukan kemudian setelah parameter serta aspek lainnya  di ketahui. Tinggi jenjang maksimum biasanya dipengaruhi oleh kemampuan alat bor dan ukuran mangkok (bucket) serta tinggi jangkauan alat muat. Umumnya dipakai pada quarry atau tambang terbuka dengan diameter lubang besar biasanya dipakai antara 10 – 15 m . Pertimbangan lain yang harus diperhatikan adalah kestabilan jenjang jangan sampai runtuh, baik karena daya dukungnya lemah atau akibat getaran peledakan. Secara praktis hubungan diameter lubang bor dengan ketinggian jenjang dapat diformulasikan sebagai berikut :
                      K = 0,1 – 0,5 D
Dimana :       K = Tinggi jenjang (m)
                     D = Diameter lubang (mm)
GAMBAR 1
HUBUNGAN DIAMETER LUBANG BOR DENGAN KETINGGIAN JENJANG

3. Fragmentasi
         Fragmentasi adalah istilah umum untuk menunjukan ukuran setiap bongkah dari batuan hasil peledakan. Ukuran fragmentasi tergantung pada proses selanjutnya. Beberapa ketentuan umum tentang hubungan fragmentasi dengan lubang ledak :
a)      Ukuran lubang ledak yang besar akan menghasilkan bongkahan fragmentasi, maka dikurangi dengan menggunakan bahan peledak yang lebih kuat
b)      Penambahan bahan  peledak akan menambah lemparan
c)      Batuan dengan intensitas tinggi dan jumlah bahan peledak sedikit dikombinasikan dengan jarak spasi pendek akan menghasilkan fragmentasi kecil

C.    Geometri Peledakan
      a. Burden (B)
      Burden adalah dimensi yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu pekerjaan peledakan. Untuk menentukan besarnya burden perlu diketahui harga dari burden ratio. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menentukan burden adalah :
·         Burden harus merupakan jarak dari muatan (charges) tegak lurus terhadap “free face” terdekat, dan arah dimana pemindahan akan terjadi
·         Besarnya burden tergantung dari karekteristik batuan, karekteristik bahan peledak, dan lain sebagainya.
b. Spasing
      Spasing adalah jarak antara lubang-lubang bor yang dirangkai dalam satu baris (row) dan diukur sejajar terhadap “pit wall”. Biasanya spasing tergantung pada burden, kedalaman lubang bor, letak primer, waktu tunda dan arah struktur bidang batuan. Untuk material (batuan) yang homogen  B = S, sedangkan untuk struktur batuan yang kompleks, misalnya orientasi joint sejajar dengan jenjang  maka burden dapat dirapatkan dan spasi dapat dijarangkan. Bila orientasi joint tegak lurus jenjang maka burden dapat dijarangkan dan spasi agak dirapatkan. Sedangkan untuk struktur batuan dengan orientasi kesegala arah /rock fracture.
GAMBAR 2
ORIENTASI STRUKTUR BATUAN PADA JENJANG

b.      Stemming (T)
      Stemming disebut juga collar, harga stemming ini sangat menentukan stress balance dalam lubang bor, fungsi lain adalah untuk mengurung gas yang timbul. Untuk mendapatkan stress balance maka harga stemming sama dengan burden. Pada batuan kompak, jika perbandingan antara stemming dan burden kurang dari satu maka akan terjadi cratering atau back break, terutama pada collar proming. Biasanya harga standar tang dipakai adalah 0,70 dan ini sudah cukup untuk mengontrol air blast dan stress balance.
c.       Sub drilling (SD)
      Adalah bagian dari kolom lubang ledak yang terletak dibagian dasar jenjang yang dimaksud untuk menghindari terjadinya toe pada lantai jenjang setelah peledakan
d.      Tinggi jenjang (H)
e.       Kedalaman lubang bor tidak boleh lebih kecil daripada burden. Hal ini untuk menghindari terjadi atau cratering. H =  L – SD
Dimana : L    = kedalaman lubang ledak
                     SD  = sub drilling

RANCANGAN MENURUT KONYA
Burden dihitung berdasarkan diameter lubang ledak, jenis batuan dan jenis bahan peledak yang diekspresikan dengan densitasnya  Rumusnya adalah :
                     B =
Dimana : B = burden (ft), de = diameter bahan peledak (inci), ρe = berat jenis bahan peledak dan ρr = berat jenis batuan
Spasi ditentukan berdasarkan sistem tunda yang direncanakan dan kemungkinannya adalah :
·         Serentak tiap baris lubang ledak (instantaneous single-row blastholes)
H < 4B → ,      H > 4B → S = 2B
·         Berurutan dalam tiap baris lubang ledak (sequenced single row blastholes)
H < 4B → ,      H > 4B → S = 1,4B
·         Stemming (T) : batuan massif T = B sedangkan batuan berlapis T = 0,7 B
·         Subdrilling (SD) = 0,3 B
·         Penentuan diameter lubang dan tinggi jenjang mempertimbangkan dua aspek, yaitu 1) efek ukuran lubang ledak terhadap fragmentasi, air blast, flyrock, dan getaran tanah dan 2) biaya pengeboran. Tinggi jenjang (H) dan burden (B) sangat erat hubungannya dengan keberhasilan peledakan dan ratio H/B ( yang dinamakan stiftness ratio) yang bervariasi memberikan respon berbeda terhadap fragmentasi, airblast, flyrock, dan getaran tanah yang hasilnya seperti terlihat dalam table. Sementara diameter lubang ledak ditentukan secara sederhana dengan menerapkan “aturan lima (rule of five)’ , yaitu ketinggian jenjang (dalam feet) “lima” kali diameter lubang ledaknya (dalam inci)
GAMBAR 3
TINGGI JENJANG MINIMUM BERDASARKAN “ATURAN LIMA RULE OF FIVE“

TABEL 2.
 POTENSI YANG TERJADI AKIBAT VARIASI STIFFNES RATIO
Stifness
ratio
Fragmentasi
Ledakan
udara
Batu
terbang
Getaran
tanah
Komentar
1
buruk
besar
banyak
besar
Banyak muncul back  break di bagian toe.Jangan di lakukan dan rancang ulang
2
sedang
sedang
sedang
sedang
Bila memungkinkan rancang ulang
3
baik
kecil
sedikit
kecil
Control dan fragmentasi baik
4
memuaskan
sangat keci;
sangat sedikit
sangat kecil
Tidak akan menambah keuntungan bila stiffnes ratio diatas 4
      RANCANGAN MENURUT  ICI – EXPLOSIVE
            Salah satu cara merancang geometri peledakan adalah dengan “coba-coba” atau trial and error atau rule of thumb yang akan diberikan adalah dari ICI Explosive. Tinggi jenjang (H) dan diameter lubang ledak (d) merupakan pertimbangan pertama yang disarankan. Jadi cara ini menitikberatkan pada alat yang tersedia atau yang akan dimiliki, kondisi batuan setempat, peraturan tentang batas maksimum ketinggian  jenjang yang diijinkan pemerintah, serta produksi yang diinginkan. Selanjutnya untuk menghitung parameter lainnya adalah sebagai berikut :
1.      Tinggi jenjang (H), secara empiris H = 60d – 140d, bandingkan dengan L/d ≤ 60
2.      Burden (B) antar baris : B = 25d - 45d
3.      Spasi antar lubang ledak sepanjang baris (S); S= 1B – 1,5B
4.      Subgrade (J); J = 8d – 12d
5.      Stemming (T); T = 20d - 30d
6.      Powder factor (PF)
      PF =
Powder Faktor menunjukan jumlah bahan peledak (kg) yang dipakai untuk memperoleh satu satuan volume atau berat fragmentasi peledakan, jadi satuannya biasa kg/m3 atau kg/ton. Pemanfaatan PF cenderung berdasarkan pertimbangan ekonomis suatu proses peledakan

Perhitungan Volume yang akan diledakan
Prinsip volume yang kan diledakan adalah perkalian antara burden (B), spasi (S) dan tinggi jenjang yang hasilnya berupa balok dan bukan volume yang telah terberai oleh proses peledakan. Volume tersebut disebut volume padat (solid atau insitu atau bank), sedangkan volume yang telah lepas disebut volume lepas (losse). Konversi dari volume padat ke volume lepas menggunakan factor berai atau sweel factor yaitu :
            SF = Vs/Vl x 100%, apabila    Vs = B x S x H
            Maka                                       Vl  =

GAMBAR 4
TIPE SEKUEN INISIASI (ICI EXPLOSIVE)

undang-undang pertambangan

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)
Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 11 TAHUN 1967 (11/1967)
Tanggal: 2 DESEMBER 1967 (JAKARTA)
Sumber: LN 1967/22; TLN NO. 2831
Tentang: KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN
Indeks: PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK.
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA.
KAMI, PEJABAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa guna mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi Nasional dalam menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila maka perlulah dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan membina segenap kekuatan ekonomi potensiil di bidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil;
b. bahwa berhubungan dengan itu, dengan tetap berpegang pada Undang-undang Dasar 1945, dipandang perlu untuk mencabut Undang-undang REFR DOCNM="60ppu037">No. 37 Prp tahun 1960 tentang Pertambangan (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 119) serta menggantinya dengan Undang-undang Pokok Pertambangan yang baru yang lebih sesuai dengan kenyataan yang ada, dalam rangka memperkembangkan usaha-usaha pertambangan Indonesia di masa sekarang dan di kemudian hari;

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXI/MPRS/1966.
3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966;
4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXXIII/MPRS/1967;
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia REFR DOCNM="66kp163">No. 163 tahun 1966;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia REFR DOCNM="67kp171">No. 171 tahun 1967;


Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong;

Memutuskan :
I. Mencabut Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 tentang Pertambangan (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 119).
II. Menetapkan: Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.

BAB I.
KETENTUAN UMUM.

Pasal 1.
Penguasaan bahan galian.
Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia yang merupakan endapan-endapan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah kekayaan Nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran Rakyat.
Pasal 2.
Istilah-istilah.
a. bahan galian: unsur-unsur kimia, mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan termasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan-endapan alam;
b. hak tanah: hak atas sebidang tanah pada permukaan bumi menurut hukum Indonesia;
c. penyelidikan umum: penyelidikan secara geologi umum atau geofisika, di daratan, perairan dan dari udara, segala sesuatu dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian pada umumnya;
d. eksplorasi: segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti/saksama adanya dan sifat letakan bahan galian;
e. eksploitasi: usaha pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya;
f. pengolahan dan pemurnian: pengerjaan untuk mempertinggi mutu bahan galian serta untuk memanfaatkan dan memperoleh unsur-unsur yang terdapat pada bahan galian itu.
g. pengangkutan: segala usaha pemindahan bahan galian dan hasil pengolahan dan pemurnian bahan galian dari daerah eksplorasi atau tempat pengolahan/pemurnian;
h. penjualan: segala usaha penjualan bahan galian dan hasil pengolahan/pemurnian bahan galian;
i. kuasa pertambangan: wewenang yang diberikan kepada badan/perseorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan;
j. Menteri: Menteri yang lapangan tugasnya meliputi urusan pertambangan.
k. Wilayah hukum pertambangan Indonesia: seluruh kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan Indonesia dan paparan benua (continental shelf) kepulauan Indonesia;
l. Perusahaan Negara:
a. Perusahaan Negara seperti yang dimaksud dalam Undang-undang tentang Perusahaan Negara yang berlaku;
b. Badan hukum yang seluruh modalnya berasal dari Negara;
m. Perusahaan Daerah: Perusahaan seperti yang dimaksud dalam Undang-undang tentang Perusahaan Daerah yang berlaku;
n. Pertambangan Rakyat; yang dimaksud dengan Pertambangan Rakyat adalah satu usaha pertambangan bahan-bahan galian dari semua golongan a, b dan c seperti yang dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri.

BAB II.
PENGGOLONGAN DAN PELAKSANAAN PENGUSAHAAN
BAHAN GALIAN.

Pasal 3.
(1) Bahan-bahan galian dibagi atas tiga golongan:
a. golongan bahan galian strategis;
b. golongan bahan galian vital;
c. golongan bahan galian yang tidak termasuk dalam golongan a atau b.

(2) Penunjukan sesuatu bahan galian ke dalam sesuatu golongan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 4.
(1) Pelaksanaan Penguasaan Negara dan pengaturan usaha pertambangan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf a dan b dilakukan oleh Menteri;
TGPT NAME="ps4(2)">(2) Pelaksanaan Penguasaan Negara dan pengaturan usaha pertambangan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf c dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu.
(3) Dengan memperhatikan kepentingan pembangunan Daerah khususnya dan Negara umumnya Menteri dapat menyerahkan pengaturan usaha pertambangan bahan galian tertentu dari antara bahan-bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf b kepada Pemerintah Daerah Tingkat I tempat terdapatnya bahan galian itu.
BAB III.
BENTUK DAN ORGANISASI PERUSAHAAN PERTAMBANGAN.

Pasal 5.
Usaha pertambangan dapat dilaksanakan oleh :
a. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri;
b. Perusahaan Negara;
c. Perusahaan Daerah;
d. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan Daerah.
e. Koperasi;
f. Badan atau perseorangan swasta yang memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 12 ayat (1);
g. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara dan/atau Daerah dengan Koperasi dan/atau Badan/Perseorangan Swasta yang memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 12 ayat (1);
h. Pertambangan Rakyat.

Pasal 6.
Usaha pertambangan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh :
a. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri;
b. Perusahaan Negara.

Pasal 7.
Bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf a, dapat pula diusahakan oleh pihak swasta yang memenuhi syarat-syarat sebagai dimaksud dalam pasal 12 ayat (1), apabila menurut pendapat Menteri, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari segi ekonomi dan perkembangan pertambangan, lebih menguntungkan bagi Negara apabila diusahakan oleh pihak swasta.
Pasal 8.
Apabila jumlah endapan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf a sedemikian kecilnya sehingga menurut pendapat Menteri akan lebih menguntungkan jika diusahakan secara sederhana atau kecil-kecilan, maka endapan bahan galian itu dapat diusahakan secara Pertambangan Rakyat sebagai dimaksud dalam
pasal 11.

Pasal 9.
(1) Usaha pertambangan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh :
a. Negara atau Daerah.
b. Badan atau Perseorangan Swasta yang memenuhi syarat- syarat yang dimaksud dalam pasal 12 (1).

(2) Usaha pertambangan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini dapat dilaksanakan oleh :
a. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri;
b. Perusahaan Negara;
c. Perusahaan Daerah;
d. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara/Perusahaan di satu pihak dengan Daerah Tingkat I dan/atau Daerah Tingkat II atau Perusahaan Daerah di pihak lain;
c. Perusahaan dengan modal bersama antara Negara/Perusahaan Negara dan/atau Daerah/Perusahaan Daerah di satu pihak dengan Badan dan/atau Perseorangan Swasta di pihak lain.

(3) Perusahaan yang dimaksud dalam ayat (2) huruf e pasal ini harus berbentuk Badan hukum dengan ketentuan bahwa Badan dan/atau Perseorangan Swasta yang ikut dalam perusahaan itu harus memenuhi syarat-syarat yang dimaksud dalam pasal 12 ayat (1).
Pasal 10.
(1) Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang kuasa pertambangan.
(2) Dalam mengadakan perjanjian karya dengan kontraktor seperti yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini Instansi Pemerintah atau Perusahaan Negara harus berpegang pada pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk dan syarat-syarat yang diberikan oleh Menteri.
(3) Perjanjian karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini berlaku sesudah disahkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat apabila menyangkut eksploitasi golongan a sepanjang mengenai bahan galian yang ditentukan dalam pasal 13 Undang-undang ini dan/atau yang perjanjian karyanya berbentuk penanaman modal asing.
Pasal 11.
Pertambangan Rakyat.
(1) Pertambangan Rakyat bertujuan memberikan kesempatan kepada rakyat setempat dalam mengusahakan bahan galian untuk turut serta membangun Negara di bidang pertambangan dengan bimbingan Pemerintah.
(2) Pertambangan Rakyat hanya dilakukan oleh Rakyat setempat yang memegang Kuasa Pertambangan (izin) Pertambangan Rakyat.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai Pertambangan Rakyat dan cara serta syarat-syarat untuk memperoleh Kuasa Pertambangan (Izin) Pertambangan Rakyat diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 12.
(1) Kuasa Pertambangan untuk pelaksanaan usaha pertambangan bahan-bahan galian yang tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf b dapat diberikan kepada :
a. Badan Hukum Kopersi.
b. Badan Hukum Swasta yang didirikan sesuai dengan peraturan-peraturan Republik Indonesia bertempat kedudukan di Indonesia dan bertujuan berusaha dalam lapangan pertambangan dan pengurusnya mempunyai kewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia.
c. Perseorangan yang berkewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Indonesia.

(2) Khusus untuk usaha eksploitasi, sebelum diberikan kuasa pertambangan kepada pihak termaksud dalam ayat (1) pasal ini, haruslah didengar lebih dahulu pendapat dari suatu Dewan Pertambangan, yang pembentukan dan penentuan susunannya akan diatur oleh Pemerintah.
Pasal 13.
Dengan Undang-undang ditentukan bahan-bahan galian yang harus diusahakan semata-mata oleh Negara dan cara melaksanakan usaha tersebut.
BAB IV.
USAHA PERTAMBANGAN.

Pasal 14.
Usaha pertambangan bahan-bahan galian dapat meliputi :
a. penyelidikan umum.
b. eksplorasi;
c. eksploitasi;
d. pengolahan dan pemurnian;
e. pengangkutan;
f. penjualan.

BAB V.
KUASA PERTAMBANGAN.

Pasal 15.
(1) Usaha pertambangan termaksud dalam pasal 14 hanya dapat dilakukan oleh perusahaan atau perseorangan yang tersebut dalam pasal 6, 7, 8 dan 9 apabila kepadanya telah diberikan kuasa pertambangan.
(2) Ketentuan-ketentuan tentang isi, wewenang, luas wilayah dan syarat-syarat kuasa pertambangan serta kemungkinan pemberian jasa penemuan bahan galian baik langsung oleh Pemerintah maupun dalam rangka pemberian kuasa pertambangan, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Kuasa pertambangan diberikan dengan Keputusan Menteri. Dalam Keputusan Menteri itu dapat diberikan ketentuan- ketentuan khusus disamping apa yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah yang termaksud dalam ayat (2) pasal ini.
(4) Kuasa pertambangan dapat dipindahkan kepada perusahaan atau perseorangan lain bilamana memenuhi ketentuan-ketentuan dalam pasal 5, 6, 7, 8, 9 dan 12 dengan persetujuan Menteri.
Pasal 16.
(1) Dalam melakukan pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu kuasa pertambangan, maka Pertambangan Rakyat yang telah ada tidak boleh diganggu, kecuali bilamana Menteri menetapkan lain demi kepentingan Negara.
(2) Pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu kuasa pertambangan tidak boleh dilakukan di wilayah yang tertutup untuk kepentingan umum dan pada lapangan sekitar lapangan-lapangan dan bangunan-bangunan pertahanan.
(3) Wilayah pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu kuasa pertambangan tidak meliputi:
a. tempat-tempat kuburan, tempat-tempat yang dianggap suci, pekerjaan-pekerjaan umum, misalnya jalan-jalan umum, jalan kereta api, saluran air, listrik, gas dan sebagainya.
b. tempat-tempat pekerjaan usaha pertambangan lain;
c. bangunan-bangunan, rumah tempat tinggal atau pabrik- pabrik beserta tanah-tanah pekarangan sekitarnya, kecuali dengan izin yang berkepentingan.

(4) Dalam hal dianggap sangat perlu untuk kepentingan pekerjaan usaha pertambangan berdasarkan suatu kuasa pertambangan, pemindahan sebagaimana termaksud dalam ayat (3) pasal ini dapat dilakukan atas beban pemegang kuasa pertambangan dan setelah diperoleh izin dari yang berwajib.
BAB VI.
CARA DAN SYARAT-SYARAT BAGAIMANA
MEMPEROLEH KUASA PERTAMBANGAN.

Pasal 17.
(1) Permintaan untuk memperoleh kuasa pertambangan diajukan kepada Menteri.
(2) Dengan Keputusan Menteri diatur cara mengajukan permintaan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, begitu pula syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh peminta, apabila belum ditentukan dalam Peraturan Pemerintah termaksud dalam pasal 15 ayat (2)
Pasal 18.
Permintaan kuasa pertambangan hanya dipertimbangkan oleh Menteri setelah peminta membuktikan kesanggupan dan kemampuannya terhadap usaha pertambangan yang akan dijalankan.
Pasal 19.
Dengan mengajukan permintaan kuasa pertambangan, maka peminta dengan sendirinya menyatakan telah memilih domisili pada Pengadilan Negeri yang berkedudukan di dalam Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
BAB VII
BERAKHIRNYA KUASA PERTAMBANGAN.

Pasal 20.
Kuasa pertambangan berakhir:
a. Karena dikembalikan;
b. Karena dibatalkan;
c. Karena habis waktunya.

Pasal 21.
(1) Pemegang kuasa pertambangan dapat menyerahkan kembali kuasa pertambangannya dengan pernyataan tertulis kepada Menteri.
(2) Pernyataan tertulis yang dimaksud data ayat (1) pasal ini disertai dengan alasan-alasannya yang cukup apa sebabnya pernyataan itu disampaikan.
(3) Pengembalian kuasa pertambangan dinyatakan sah setelah disetujui oleh Menteri.
Pasal 22.
(1) Kuasa pertambangan dapat dibatalkan dengan keputusan Menteri:
a. apabila pemegang kuasa pertambangan tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) atau yang ditentukan dalam Keputusan Menteri yang tersebut dalam pasal 15 ayat (3);
b. jikalau pemegang kuasa pertambangan ingkar menjalankan perintah-perintah dan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pihak yang berwajib untuk kepentingan Negara.
(2) Kuasa pertambangan dapat dibatalkan dengan Keputusan Menteri untuk kepentingan Negara.
Pasal 23.
Apabila waktu yang ditentukan dalam suatu kuasa pertambangan telah berakhir, sedangkan untuk kuasa pertambangan tersebut tidak diberikan perpanjangan maka kuasa pertambangan tersebut berakhir menurut hukum.
Pasal 24.
(1) Jika Kuasa pertambangan berakhir karena hal-hal termaksud dalam pasal 21, 22 ayat (1) dan pasal 23, maka:
a. segala beban yang diberatkan kepada kuasa pertambangan batal menurut hukum;
b. Wilayah kuasa pertambangan kembali kepada kekuasaan Negara.
c. segala sesuatu yang diperlukan untuk pengamanan bangunan-bangunan tambang dan kelanjutan pengambilan bahan-bahan galian menjadi hak Negara tanpa penggantian kerugian kepada pemegang kuasa pertambangan;
d. perusahaan atau perseorangan yang memegang kuasa pertambangan itu diharuskan menyerahkan semua klise dan bahan-bahan peta, gambar-gambar ukuran tanah dan sebagainya yang bersangkutan dengan usaha pertambangan kepada Menteri dengan tidak menerima ganti kerugian.

(2) Menyimpang dari bunyi ayat (1) pasal ini, maka bilamana kuasa pertambangan dibatalkan untuk kepentingan Negara, maka kepadanya diberi ganti kerugian yang wajar.
(3) Menteri menetapkan waktu dalam mana pemegang kuasa pertambangan terakhir diberi kesempatan untuk mengangkat segala sesuatu yang menjadi hak miliknya. Segala sesuatu yang belum diangkat dalam waktu tersebut menjadi milik Negara.
BAB VIII
HUBUNGAN KUASA PERTAMBANGAN DENGAN
HAK-HAK TANAH.

Pasal 25.
(1) Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengganti kerugian akibat dari usahanya pada segala sesuatu yang berada di atas tanah kepada yang berhak atas tanah di dalam lingkungan daerah kuasa pertambangan maupun di luarnya, dengan tidak memandang apakah perbuatan itu dilakukan dengan atau tidak dengan sengaja, maupun yang dapat atau tidak dapat diketahui terlebih dahulu.
(2) Kerugian yang disebabkan oleh usaha-usaha dari dua pemegang kuasa pertambangan atau lebih, dibebankan kepada mereka bersama.
Pasal 26.
Apabila telah didapat izin pertambangan atas sesuatu daerah, atau wilayah menurut hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat kepadanya:
a. sebelum pekerjaan dimulai, dengan diperlihatkannya surat kuasa pertambangan atau salinannya yang sah, diberitahukan tentang maksud dan tempat pekerjaan-pekerjaan itu akan dilakukan;
b. diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih dahulu.

Pasal 27.
(1) Apakah telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan dengan wilayah kuasa pertambangan, maka kepada yang berhak diberikan ganti rugi yang jumlahnya ditentukan bersama antara pemegang kuasa pertambangan dan yang mempunyai hak atas tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk pengantian sekali atau selama hak itu tidak dapat dipergunakan.
(2) Jika yang bersangkutan tidak dapat mencapai kata mufakat tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, maka penentuannya diserahkan kepada Menteri.
(3) Jika yang bersangkutan tidak dapat menerima penentuan Menteri tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, maka penentuannya diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi daerah/wilayah yang bersangkutan.
(4) Ganti rugi yang dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) pasal ini beserta segala biaya yang berhubungan dengan itu dibebankan kepada pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan.
(5) Apabila telah diberikan kuasa pertambangan pada sebidang tanah yang diatasnya tidak terdapat hak tanah, maka atas sebidang tanah tersebut atau bagian-bagiannya tidak dapat diberi hak tanah kecuali dengan persetujuan Menteri.
BAB IX.
PUNGUTAN-PUNGUTAN NEGARA.

Pasal 28.
(1) Pemegang kuasa pertambangan membayar kepada Negara iuran tetap, iuran eksplorasi dan/atau eksploitasi dan/atau pembayaran-pembayaran yang berhubungan dengan kuasa pertambangan yang bersangkutan.
(2) Pungutan-pungutan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Kepada Daerah Tingkat I dan II diberikan bagian dari pungutan-pungutan Negara tersebut, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X.
PENGAWASAN PERTAMBANGAN.

TGPT NAME="ps29">Pasal 29.
(1) Tata-usaha, pengawasan pekerjaan usaha pertambangan dan pengawasan hasil pertambangan dipusatkan kepada Menteri dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
(2) Pengawasan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini terutama meliputi keselamatan kerja, pengawasan produksi dan kegiatan lainnya dalam pertambangan yang menyangkut kepentingan umum.
Pasal 30.
Apabila selesai melakukan penambangan bahan galian ada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitarnya.
BAB XI.
KETENTUAN-KETENTUAN PIDANA.
Pasal 31.
(1) Dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun dan/atau dengan denda setinggi-tingginya lima ratus ribu rupiah, barangsiapa yang tidak mempunyai kuasa pertambangan melakukan usaha pertambangan seperti dimaksud dalam pasal 14 dan 15.
(2) Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun dan/atau dengan denda setinggi-tingginya lima puluh ribu rupiah, barangsiapa yang melakukan usaha pertambangan sebelum memenuhi kewajiban-kewajiban terhadap yang berhak atas tanah menurut Undang-undang ini.
Pasal 32.
(1) Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun dan/atau dengan denda setinggi-tingginya lima ribu rupiah, barangsiapa yang tidak berhak atas tanah merintangi atau mengganggu usaha pertambangan yang sah.
(2) Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau dengan denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah, barangsiapa yang berhak atas tanah merintangi atau mengganggu usaha pertambangan yang sah, setelah pemegang kuasa pertambangan memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang tercantum dalam pasal 26 dan 27 Undang-undang ini.

Pasal 33.

Dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan dan/atau dengan denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah:
a. Pemegang kuasa pertambangan yang tidak memenuhi atau tidak melaksanakan syarat-syarat yang berlaku menurut Undang-undang ini dan/atau Undang-undang termaksud dalam pasal 13 atau Peraturan Pemerintah dan/atau Surat Keputusan Menteri yang diberikan berdasarkan Undang-undang ini dan/atau Undang-undang termaksud dalam pasal 13.
b. Pemegang kuasa pertambangan yang tidak melakukan perintah-perintah dan/atau petunjuk-petunjuk yang berwajib berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 34.
(1) Jikalau pemegang kuasa pertambangan atau wakilnya adalah suatu perseoran, maka hukuman termaksud pasal 31, 32 dan 33 dijatuhkan kepada para anggota pengurus.
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) adalah kejahatan dan perbuatan-perbuatan lainnya adalah pelanggaran.
BAB XII.
KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP.

Pasal 35.
(1) Semua hak pertambangan dan kuasa pertambangan perusahaan Negara, perusahaan swasta, badan lain atau perseorangan yang diperoleh berdasarkan peraturan yang ada sebelum saat berlakunya Undang-undang ini, tetap dapat dijalankan sampai sejauh masa berlakunya, kecuali ada penetapan lain menurut Peraturan Pemerintah yang dikeluarkan berdasarkan kepada Undang-undang ini.
(2) Sebelum penetapan menurut Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam ayat (1) diatas dikeluarkan, pemegang-pemegang hak dan kuasa pertambangan tersebut harus menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undang-undang ini.
Pasal 36.
(1) Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan cara pengusahaan pertambangan oleh perusahaan negara, perusahaan swasta, badan lain atau perseorangan yang tersebut dalam pasal 35 ayat (1) diatas serta peraturan perundang-undangan lainnya yang masih berlaku pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini tetap berlaku selama belum ada ketentuan-ketentuan pengganti berdasarkan Undang-undang ini.
(2) Semua peraturan perundang-undangan yang bersumber kepada undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 yang masih berlaku pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku sepanjang tidak dicabut, dirubah atau ditambah berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 37.
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan dan disebut Undang-undang Pokok Pertambangan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 1967.
Pd. Presiden Republik Indonesia,

SOEHARTO
Jenderal TNI.

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 1967.
Sekretaris Kabinet Ampera,

SUDHARMONO S.H.
Brig. Jen. TNI.


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG No. 11 TAHUN 1967
tentang
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PERTAMBANGAN.

A. PENJELASAN UMUM.
Bahwa pada mulanya Undang-undang Pertambangan yang berlaku pada waktu Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan adalah Indonesische Mijnwet tahun 1907.
Dalam perkembangan politik Nasional hal tersebut tidaklah dapat selaras lagi dengan cita-cita dasar Negara Republik Indonesia serta kepentingan Nasional pada umumnya, khususnya dibidang pertambangan. Dalam hubungan ini pada tanggal 2 Agustus 1951 telah diterima oleh Parlemen mosi yang menghendaki agar dibentuk sebuah Panitia Negara untuk Urusan Pertambangan antara lain untuk merencanakan suatu Undang-undang tentang Pertambangan sebagai pengganti Indonesische Mijnwet.
Maka kemudian pada tanggal 14 Oktober 1960 Indonesische Mijnwet tersebut telah dicabut dan diganti dengan Undang-undang Pertambangan yang baru yaitu Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960. Undang-undang Pertambangan yang baru tersebut pada waktu itu sekedarnya sudah dapat memenuhi tuntutan dan kepentingan Nasional di bidang Pertambangan.
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, dirasakan bahwa Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 itu kemudian tidak lagi dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang ingin berusaha dalam bidang pertambangan. Masyarakat menghendaki agar kepada pihak swasta lebih diberikan kesempatan melakukan penambangan, sedangkan tugas Pemerintah ditekankan kepada usaha pengaturan, bimbingan dan pengawasan pertambangan. Hal itu ditambah lagi dengan perkembangan politik dan pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan antara lain sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/MPRS/1966;
Maka dipandang perlu untuk lebih dipercepat penggantian Undang-undang Pokok Pertambangan yang baru.

Pokok-pokok persoalan.
Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang baru ini harus selaras dengan cita-cita dasar Negara Republik Indonesia dan dengan perkembangan kepentingan Nasional dalam pertambangan, yang secara mendalam harus diitinjau baik dari sudut politik dan ekonomis, maupun dari sudut sosial dan strategis.
Pokok-pokok persoalan tersebut adalah mengenai:
1. pengusaan bahan-bahan galian yang berada di dalam, dibawah dan di atas wilayah hukum pertambangan Indonesia;
2. pembagian bahan-bahan galian dalam beberapa golongan, yang didasarkan atas pentingnya bahan galian itu;
3. sifat dari perusahaan pertambangan, yang pada dasarnya harus dapat diusahakan oleh semua pihak yang berminat dan sanggup dengan tetap memperhatikan segi keamanan Negara dan tetap berdasarkan azas-azas kekeluargaan;
4. peranan Pemerintah Daerah lebih diperkuat;
5. pengertian kuasa pertambangan tetap dipertahankan;
6. adanya peraturan peralihan untuk mencegah kekosongan (vacuum) dalam menghadapi pelaksanaan Undang-undang ini.

Penjelasan pokok persoalan:
l. Mengenai semua bahan galian yang terkandung di dalam bumi dan wilayah hukum pertambangan Indonesia dinyatakan, bahwa bahan-bahan galian tersebut adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan dikuasi oleh Negara.
Pernyataan ini adalah dasar, yang diletakkan dalam Undang- undang Pertambangan ini, sehingga dengan pernyataan ini Negara menguasai semua bahan-bahan galian dengan sepenuh- penuhnya untuk kepentingan Negara serta kemakmuran rakyat, karena bahan-bahan galian tersebut adalah merupakan kekayaan Nasional.
Dengan pengertian baru yang disebut dataran Continental (Continental-Shelf), maka wilayah hukum pertambangan meliputi juga daerah di luar batas-batas perairan Indonesia. Pengertian perairan Indonesia inipun adalah pengertian sesudah disesuaikan dengan Undang-undang No. 4 Prp tahun 1960, tentang Perairan Indonesia (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 22, Tambahan Lembaran-Negara No. 1942).
2. Pembagian (gradasi) bahan-bahan galian dalam golongan strategis, golongan vital dan golongan yang tidak termasuk dalam golongan strategis dan vital didasarkan atas sifat masing-masing bahan galian sendiri, diperlengkapi menurut pendapat-pendapat baru mengenai hal ini misalnya bahan-bahan galian yang radio aktif dan bahan galian lain yang strategis bagi pertahanan dan pembangunan Negara.
Karena tetap dirasakan perlu adanya Undang-undang tersendiri bagi bahan-bahan galian strategis seperti minyak bumi, aspal, lilin bumi dan sejenisnya serta semua jenis gas mudah terbakar, dan bahan galian yang radio aktif oleh karena sifatnya yang sangat khusus, maka Undang-undang tersendiri mengenai bahan-bahan galian tersebut yang telah dibuat atas dasar Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 itu tetap dipertahankan dengan penyesuaian pada prinsip-prinsip pokok dalam Undang-undang ini.
Undang-undang Pertambahan ini dianggap sebagai peraturan pokok. Dalam pembuatan peraturan lanjutan atau meneruskan berlakunya sesuatu peraturan lanjutan itu, dasar-dasar termaksud dalam Undang-undang Pertambangan ini harus diperhatikan.
3. Dalam memanfaatkan kekayaan alam dapat diambil cara-cara penguasaannya seperti berikut:
a. Dikerjakan langsung oleh suatu Instansi Pemerintah, penguasaan oleh Instansi Pemerintah itu terutama ditujukan untuk penyelidikan umum dan eksplorasi sebagai usaha inventarisasi kekayaan alam Indonesia dan tidak dalam arti pengusahaan untuk mencari keuntungan, karena usaha pertambangan untuk mencari keuntungan tersebut seyogyanya diserahkan kepada Perusahaan-perusahaan Tambang Negara atau Swasta. Begitupun bahan radio aktif perlu diusahakan oleh Instansi Pemerintah dan dalam hal ini adalah Badan Tenaga Atom Nasional;
b. diusahakan oleh Perusahaan Negara;
c. diusahakan dengan perusahaan atas dasar modal bersama oleh pihak Negara dengan Daerah;
d. diusahakan oleh Perusahaan Daerah;
e. diusahakan oleh perusahaan yang modalnya adalah modal campuran oleh Negara dan pihak Swasta, boleh pula modal campuran dengan perseorangan, asal berkewarganegaraan Indonesia dan boleh pula dengan badan swasta yang pengurusnya seluruhnya adalah warganegara Indonesia;
f. diusahakan oleh pihak Swasta boleh oleh perseorangan asal berkewarganegaraan Indonesia, atau boleh oleh badan Swasta yang seluruhnya berkewarganegaraan Indonesia, terutama yang mempunyai bentuk koperasi.
4. Pemerintah Daerah lebih diperkuat kedudukannya, terutama dalam pengaturan bahan galian golongan c serta pembagian atas keuntungan perusahaan pertambangan yang berusaha dalam sesuatu Daerah. Sungguhpun demikian agar jangan terjadi perlapisan-perlapisan daerah tempat melakukan usaha pertambangan perlu kerja sama yang erat dengan pihak Pemerintah Pusat.
5. Pengertian konsesi atas dasar Indonesiche Mijnwet memberikan hak yang terlalu kuat bagi pemegang konsesi itu. Pengertian yang sedemikian itu tidak dapat dipertahankan lagi dan oleh Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 pengertian itu telah dihapus dan ditukar dengan kuasa pertambangan. Pengertian kuasa pertambangan masih tetap dapat dipertahankan dalam Undang-undang ini.
6. Untuk mencegah kekosongan dalam menghadapi pelaksanaan dari Undang-undang ini masih diperlukan ketentuan Peralihan menjelang dibuatnya peraturan lanjutan. Lagi pula beberapa peraturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang diharapkan dikeluarkan sesudah Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 diundangkan, ternyata sampai sekarang belum dikeluarkan dengan lengkap, baru beberapa Keputusan Menteri dan suatu Peraturan Pemerintah tentang Penggolongan Bahan Galian yang sudah dikeluarkan.
Sehingga dengan mulai berlakunya Undang-undang ini mengingat belum lengkapnya peraturan-peraturan pelaksanaan, maka "Mijn Ordonnantie" dan beberapa verordeningen selama tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan selama belum diganti dengan peraturan-peraturan pelaksanaan baru, masih tetap berlaku disamping peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan berdasarkan Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 itu. Dengan dikeluarkannya Undang-undang Pertambangan ini, Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960 dan penjelasannya telah dicabut. Namun demikian hak-hak pertambangan serta kuasa pertambangan yang telah ada (yang berdasarkan Undang-undang No. 37 Prp tahun 1960) yang masih berlaku, akan tetap berlaku, dengan ketentuan bahwa para pemegang kuasa pertambangan tersebut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya harus menyesuaikan diri dengan cara memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan ini.

B. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL:
Pasal 1.
Sebagai telah tersebut dalam penjelasan umum, maka dengan pasal ini dinyatakan dengan tegas bahwa semua bahan galian yang terdapat di Indonesia yang masih merupakan letakan-letakan atau timbunan-timbunan alam sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah kekayaan Nasional dan dikuasai oleh Negara.

Pasal 2.
Mengenai yang tersebut dalam huruf K, dicatat di sini bahwa dataran Continental yang diartikan oleh dunia Internasional ialah semua daerah di bawah permukaan air dari pantai ke arah laut, di mana dalamnya air masih memungkinkan penyelidikan dan pengambilan hasil sumber-sumber kekayaan alam dari dasar laut dan tanah di bawahnya.

Pasal 3.
Pembagian dalam tiga golongan bahan galian didasarkan pada pentingnya bahan galian yang bersangkutan bagi Negara.
Bahan galian strategis dalam arti kata "strategis" untuk pertahanan/keamanan Negara ataupun strategis untuk menjamin perekonomian Negara. Bahan galian vital dalam arti dapat menjamin hajat hidup orang banyak. Sedang yang tidak dianggap langsung mempengaruhi hajat hidup orang banyak, baik karena sifatnya maupun karena kecilnya jumlah letakan (leposit) bahan galian itu digolongkan ke dalam golongan ketiga. Berhubung dengan kemungkinan-kemungkinan dalam perkembangan teknis dan pandangan ekonomis, yang dapat merobah nilai pentingnya suatu bahan galian dianggap lebih bijaksana penggolongan itu diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan mengadakan konsultasi kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat c.q. Komisi yang bersangkutan dari Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 4.
Cukup jelas.

Pasal 5.
Cukup jelas.

Pasal 6 dan 9.
Dengan pasal 6 dan pasal 9 ini ditegaskan pengusahaan masing-masing bahan galian.
Bahan galian golongan a hanya dapat diusahakan oleh Negara atau Negara bersama Daerah; golongan b boleh oleh pihak Swasta atau dalam bentuk perusahaan yang modalnya adalah modal bersama, golongan c dan bahan-bahan galian yang tidak disebut dalam Peraturan Pemerintah Pelaksana Undang-undang ini diserahkan pengaturannya kepada Pemerintah Daerah Tingkat I.
Usaha yang dilakukan oleh Negara dapat berbentuk:
a. Pekerjaan kedinasan atau penugasan Negara kepada salah satu Instansi Pemerintah terutama Instansi Pemerintah ini akan diberi tugas dalam inventarisasi kekayaan alam Indonesia, penyelidikan geologic penyelidikan umum, eksplorasi dan pembukaan proyek baru.
b. Perusahaan Negara.
Usaha yang dilakukan oleh Daerah berbentuk Perusahaan Daerah, yaitu semacam Perusahaan yang dibentuk dan diadakan oleh Pemerintah Daerah, baik Daerah Tingkat I atau Tingkat II.
Dalam pada itu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat pula mendirikan suatu Perusahaan dengan modal bersama.

Pasal 7 dan 8
Pokok pikiran ialah bahwa bahan galian golongan a hanya boleh diusahakan oleh Negara. Tetapi ada kalanya harus dilakukan penyimpangan untuk memperbolehkan pengusahaannya oleh pihak Swasta atau Rakyat setempat atas kepentingan perekonomian Negara atau perkembangan pertambangan dikalangan rakyat banyak. Tetapi bahan galian strategis yang menyangkut dengan keamanan Negara, tetap hanya akan diusahakan Negara dan tidak dapat dialihkan kepada Swasta atau pertambangan Rakyat.

Pasal 10.
Pasal ini menjadi dasar untuk kontrak karya baik dengan pihak modal dalam Negeri maupun dengan modal Asing. Konsultasi termaksud dilakukan dengan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat c.q. Komisi yang bersangkutan. Penentuan penempatan Kontrak Karya dan pelaksanaannya diatur dengan cara yang paling menguntungkan bagi Negara dan masyarakat.

Pasal 11.
Rakyat setempat berdasarkan hukum adat dan untuk penghidupan mereka sendiri sehari-hari telah melakukan usaha-usaha pertambangan menurut cara-cara mereka sendiri. Hal ini harus dilindungi dan dibimbing.

Pasal 12.
Ketentuan dalam pasal ini bermaksud untuk menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya.
Pendapat dari Dewan Pertambangan diperlukan dalam pemberian kuasa pertambangan eksploitasi karena janka waktunya yang panjang (± 30 tahun), sedangkan untuk kuasa pertambangan bagi usaha pertambangan lainnya karena jangka waktunya relatif pendek dan terbatas, maka tidak perlu dimintakan pendapat Dewan tersebut. Dalam pelaksanaannya akan diberikan pengutamaan kepada Badan Hukum Koperasi.

Pasal 13
Pada saat ini yang sudah dilaksanakan ialah pengaturan tentang minyak dan gas bumi serta sejenisnya dan bahan radio-aktif. Untuk itu sudah diundangkan Undang-undangnya dalam bentuk Undang-undang sebagai pelanjutan dari Undang-undang Pokok Pertambangan ini.

Pasal 14.
Cukup jelas.

Pasal 15.
Untuk pengertian hak-hak pertambangan yang telah kita kenal selama ini, tetap dipergunakan istilah kuasa pertambangan. Perbedaan yang pokok antara pengertian konsesi lama dengan kuasa pertambangan ialah bahwa yang diberikan dengan kuasa pertambangan hanyalah kekuasaan untuk melaksanakan usaha pertambangan dan tidak memberikan hak pemilikan pertambangan kepada si pemegang kuasa pertambangan.
Dalam keputusan Menteri yang memberikan kuasa pertambangan dijelaskan sampai ke mana jauhnya pemberian kuasa pertambangan tadi serta usaha pertambangan apa yang diliputi oleh kuasa pertambangan itu.
Dalam rangka mendorong anggota masyarakat untuk melaporkan kepada Pemerintah setiap penemuan pribadinya atas sesuatu bahan galian, maka haruslah dapat diberikan jaminan sedemikian rupa sehingga penemu dapat memperoleh keuntungan materiil atas hasil penemuannya itu.
Dalam peraturan selanjutnya hendaklah ditegaskan, bahwa apabila hasil sampingan (yang penggaliannya tidak dapat dipisahkan dari penggalian bahan galian pokok) menyangkut segi kepentingan keamanan Negara harus dinyatakan tidak termasuk dalam kuasa pertambangan termaksud. Pengolahan dan pemurnian sejauh mungkin harus diusahakan untuk dilakukan di dalam Negeri.

Pasal 16.
Cukup jelas.

Pasal 17.
Cukup jelas.

Pasal 18.
Ditetapkan syarat harus membuktikan kesanggupan dan kemampuan terhadap pengusahaan pertambangan dimaksudkan untuk menghindari terhentinya pekerjaan usaha pertambangan di tengah jalan, sehingga mendatangkan kelambatan dalam pembangunan di bidang pertambangan.
Di samping itu ketentuan tersebut diperlukan untuk mencegah penyalah-gunaan kuasa pertambangan tersebut.

Pasal 19.
Cukup jelas.

Pasal 20.
Cukup jelas.

Pasal 21.
Cukup jelas.

Pasal 22.
Cukup jelas.

Pasal 23.
Cukup jelas.

pasal 24.
Apabila kuasa pertambangan berakhir, ada kemungkinan,bahwa pada bagian-bagian tertentu dari wilayah kuasa pertambangan yang dikerjakan terdapat bahan-bahan galiannya. Sebab itu maka apabila suatu kuasa pertambangan berakhir harus dijaga agar tempat itu tidak rusak sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan lagi dilakukan usaha penambangannya. Untuk itu diperlukan ketentuan penjagaan dari kemungkinan kerusakan tesebut disamping kesempatan bagi bekas pemegang kuasa pertambangan itu untuk mengambil hak miliknya yang berada pada tempat itu.

Pasal 26 dan 27.
Dalam pasal-pasal ini ditegaskan kewajiban pemegang kuasa pertambangan untuk mengganti kerugian kepada mereka yang berhak atas tanah sebagai perimbangan dan sekaligus ditegaskan pula kewajiban mereka yang berhak atas tanah untuk memperbolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambahan atas tanah yang bersangkutan.

Pasal 28.
Dengan ditentukan penentuan lebih lanjut tentang pungutan Negara ini oleh Peraturan Pemerintah maka akan lebih mudah dan lebih cepat dapat diatur apabila diperlukan suatu perobahan dalam pungutan Negara itu.

Pasal 29.
Cukup jelas.

Pasal 30.
Di sini ditegaskan kewajiban pengusaha pertambangan dalam memelihara wilayah pertambangannya sehingga agar tidak menjadi sumber penyakit bagi rakyat sekitarnya bila usaha pertambangan telah selesai dan wilayah kerja pertambangan telah ditinggalkan.

Pasal 31.
Cukup jelas.

Pasal 32.
Cukup jelas.

Pasal 33.
Ketentuan ini diperlukan agar pelanggaran terhadap keputusan Menteri dapat dihukum, karena keputusan Menteri yang terpisah sendiri tidak dapat memuat ancaman hukuman.

Pasal 34.
Cukup jelas.

Pasal 35.
Maksud Undang-undang ini ialah untuk merubah seluruh per-aturan pertambangan dari masa penjajahan dan dari suatu zaman di mana di Indonesia pernah berkembang alam pikiran-pikiran pada para penguasa bahwa semua pertambangan harus dilakukan oleh Pemerintah, alam pikiran mana tidak sesuai dengan kepentingan Nasional.
Selanjutnya untuk jangka waktu tertentu perlu diadakan suatu masa peralihan untuk penyesuaian.

Pasal 36.
Cukup jelas.

--------------------------------